Jumat, 10 April 2009

MODUL BAHASA INDONESIA KELAS X

MEMAHAMI WACANA SASTRA
MELALUI KEGIATAN MEMBACA CERPEN



1. Pengantar
Salah satu kegiatan belajar dalam bahasa Indonesia yaitu membaca cerpen.
Dengan membaca cerpen kita akan mengetahui karakter-karakter tentang tokoh dalam cerita maupun segala kisah hidup manusia karena cerita dalam cerpen tidak mustahil terjadi dalam kehidupan nyata meskipun cerpen merupakan salah satu bentuk prosa dalam karya sastra. Salah satu ciri sebuah cerita pendek atau cerpen adalah mengisahkan kisah hidup manusia yang lazim terjadi sekalipun banyak dibumbuhi unsur imajinasi tetapi ceita dalam cerpen tentang kehidupan manusia yang wajar / logis. Kegiatan membaca cerpen yang akan kita pelajari diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang nilai –nilai kehidupan di masyarakat.


2. Standar Kompetensi
Membaca
Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen.

3. Kompetensi Dasar
Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.

4. Tujuan Pembelajaran
a) Siswa dapat menceritakan kembali isi cerpen yang dibaca.
b) Siswa dapat mengungkapkan latar dan penokohan dalam cerpen dengan
menunjukkan kutipan yang mendukung.
c) Siswa dapat menganalisis keterkaitan unsur intrinsik cerpen dengan kehidupan
sehari- hari .

5. Kegiatan Belajar

5.1. Membaca Cerpen
Peradilan Rakyat
Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
“Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu.
"jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata:
"Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas
kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***


5.1.1. Uraian dan Contoh
Pengertian Cerpen
Cerita pendek ( cerpen ) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek.Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relative. Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500- 5.000 kata. Oleh karena itu, cerita pendek sering diungkapkan sebagai cerita yang dapat dibaca dalam sekali di\duduk. Dengan demikian kita dapat menentukan ciri-ciri cerpen. Ciri-ciri cerpen ialah :
• pada umumnya cerita itu pendek;
• yang ditampilkan hal – hal yang penting benar dan berarti;
• isinya singkat lagi padat;
• alur lebih sederhana;
• tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang;
• latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkungan yang relatif terbatas;
• tema dan nilai-nilai kehidupan yang disampaikan relatif sederhana
• menggambarkan tokoh cerita menghadapi suatu pertikaian (konflik) untuk
menyelesaikannya;
• sanggup meninggalkan suatu kesan dalam hati pembaca.

Upaya memahami karya sastra dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur dalam (intrinsik). Unsur-unsur dalam sebuah karya sastra memiliki keterkaitan satu
dengan lainnya. Berikut ini unsur-unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra.

1. Tema

Tema dapat kita peroleh setelah kita membaca secara menyeluruh (close reading) isi cerita.Tema yang diangkat biasanya sesuai dengan amanat/pesan yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Tema menyangkut ide cerita. Tema menyangkut keseluruhan isi cerita yang tersirat dalam cerpen.Tema dalam cerpen dapat mengangkat masalah persahabatan, cinta kasih, permusuhan, dan lain-lain. Hal yang pokok adalah tema berhubungan dengan sikap dan pengamatan pengarang terhadap kehidupan.
Pengarang menyatakan idenya dalam unsur keseluruhan cerita. Cara-cara menemukan
tema antara lain :
• melalui alur cerita
• melalui tokoh cerita
• melalui bahasa yang digunakan oleh pengarang

2 Jalan Cerita dan Alur

Alur tersembunyi di balik jalan cerita. Alur merupakan bagian rangkaian perjalanan cerita
yang tidak tampak. Jalan cerita dikuatkan dengan hadirnya alur. Sehubungan dengan naik
turunnya jalan cerita karena adanya sebab akibat, dapat dikatakan pula alur dan jalan cerita dapat lahir karena adanya konflik. Konflik tidak harus selalu berisikan pertentangan antara orang per orang. Konflik dapat hadir dalam diri sang tokoh dengan dirinya ,dengan lingkungan di sekitarnya maupun dengan Tuhan atau keyakinannya. Hal yang menggerakkan kejadian cerita adalah plot. Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Dan suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan konflik.Adapun kehadiran konlik harus ada sebabnya. Secara sederhana, konflik lahir dari mulai pengenalan hingga penyelesaian konflik. Untuk lebih jelasnya, secara umum jalan cerita terbentuk atas bagian-bagian berikut ini .
• Pengenalan situasi cerita ( exposition )
• Pengungkapan peristiwa (complication)
• Menuju pada adanya konflik (rising action)
• Puncak konflik (turning point)
• Penyelesaian (ending)
Bagian-bagian alur tersebut tidaklah seragam, dapat pula dengan susunan seperti ini.
• Pengenalan konflik
• Timbul permasalahan
• Permasalahan memuncak
• Permasalahan mereda
• Penyelesaian masalah


3. Tokoh dan Perwatakan

Cara tokoh dalam menghadapi masalah maupun kejadian tentunya berbeda-beda. Hal ini
disebabkan perbedaan latar belakang (pengalaman hidup) mereka. Dengan
menggambarkan secara khusus bagaimana suasana hati tokoh, kita lebih banyak diberi
tahu latar belakang kepribadiannya. Penulis yang berhasil menghidupkan watak
tokoh-tokoh ceritanya berarti berhasil pula dalam menghidupkan tokoh. Dalam
perwatakan tokoh dapat diamati dari hal-hal berikut:
• apa yang diperbuat oleh para tokoh;
• melalui ucapan-ucapan tokoh;
• melalui penggambaran fisik atau perilaku tokoh;
• melalui penggambaran lingkungan kehidupan tokoh;
• melalui pikiran-pikirannya;
• melalui penerangan langsung.

4. Latar (Setting)

Latar (setting) merupakan salah satu bagian cerpen yang dianggap penting sebagai
penggerak cerita. Setting mempengaruhi unsur lain, semisal tema atau penokohan. Setting
tidak hanya menyangkut lokasi di mana para pelaku cerita terlibat dalam sebuah kejadian.
Adapun penggolongan setting dapat dikelompokkan dalam setting tempat, setting waktu,
dan setting social atau suasana.
.
5. Sudut Pandang (Point of View)

Point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara
yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini
dikarenakan watak dan pribadi sipencerita (pengarang) akan banyak menentukan cerita
yang dituturkan pada pembaca.Adapun sudut pandang pengarang sendiri empat macam,
yakni sebagai berikut.
a. Objective point of view
Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti Anda melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku.
b. Omniscient point of view
Dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya.
c. Point of view orang pertama
Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik
sudut pandang "aku". Hal ini sama halnya seperti seseorang mengajak berbicara pada
orang lain.
d. Point of view orang ketiga
Teknik ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak
ketiga. Jadi, pengarang hanya "menitipkan" pemikirannya dalam tokoh orang ketiga.
Orang ketiga ("dia") dapat juga menggunakan nama orang.


6. Gaya Bahasa
Dalam cerita , penggunaan bahasa berfungsi untuk mencipta nada atau suasana persuasive dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antar tokoh Kemampuan penulis dalam menggunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suasana yang berterus terang atau satiris,simpatik atau menjengkelkan ,dan objektif atau emosional.

Gaya menyangkut cara khas pengarang dalam mengungkapkan ekspresi berceritanya dalam cerpen yang ia tulis. Gaya tersebut menyangkut bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen.

7. Amanat
Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini,
pengarang "menitipkan" nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang
dibaca. Amanat menyangkut bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen
yang ia baca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang
dibacanya. Hal lain yang termasuk unsur sastra adalah unsur ekstrinsik. Unsur ini berada
di luar karya sastra itu sendiri. Misalnya, nama penerbit, tempat lahir pengarang, harga
buku, hingga keadaan di sekitar saat karya sastra tersebut ditulis.

Dalam cerita pendek tersebut, kita dapat menganalisis unsur intrinsiknya.
1. Tokoh yang ada dalam cerita adalah Pengacara Tua dan Pengacara Muda. Pada awal
cerita disebutkan bahwa keduanya memilki hubungan ayah-anak.
2. Selanjutnya, kita dapat memahami watak setiap tokoh sesuai dengan apa yang mereka
bicarakan.

a. Pengacara Tua : Memiliki sikap yang mau membela keadilan dan kebenaran
sesuai dengan hukum. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.
"... Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuripencuri keadilan yang
bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah
yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak
belajardari buku itu."

Ia pun memiliki sikap mau mewariskan sikap sewajarnya dalam menghadapi
persoalan kepada anaknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.
"Jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
deskripsi-deskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrindoktrin
beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai
suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

b. Pengacara Muda: Ia memiliki watak yang mau belajar dan berani membela
kebenaran sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh ayahnya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dia ucapkan:
"Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara Muda ini pun memiliki keteguhan sendiri yang tidak terpengaruh oleh
orang lain, bahkan ayahnya sekalipun. Ia minta bicara dengan ayahnya tersebut
dengan memosisikan diri sebagai orang lain.Ia pun mempunyai sikapp berani
mengemukakan melawan arus. Ia berani bicara dengan pendiriannya sendiri yang
berbeda dengan garis pendirian ayahnya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan
berikut.
"...Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap
kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk
menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak
memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan
yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah
keadilan itu sendiri."

3. Adapun latar yang ada dalam cerpen tersebut adalah suasana di rumah sang
Pengacara Tua. Anda dapat menentukan latar tempat yang sesuai dengan penafsiran
Anda sendiri. Latar sosial dalam cerita ini menyangkut keadaan negeri yang carut
marut dalam hal keadilan, yaitu korupsi yang merajalela.
4. Alur dalam cerita adalah alur maju. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kedatangan
sang Pengacara Muda kepada Pengacara Tua (ayahnya). Selanjutnya timbul dialog
yang terus maju dan timbul konflik antarpemikiran dua generasi.
5. Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen karya Putu Wijaya ini adalah sudut
pandang orang ketiga. Pengarang menggunakan tokoh nama (orang ketiga), yaitu
Pengacara Muda dan Pengacara Tua.
6. Gaya bahasa dalam cerpen tersebut, pengarang banyak menggunakan istilah yang
berhubungan dengan dunia keadilan. Hal ini menyangkut
dunia hukum dan keadilan yang terjadi di suatu negeri.
7. Amanat yang terdapat dalam cerpen tersebut, antara lain bahwa
jangan ada kesenjangan pemikiran antara kaum tua dan kaum muda. Selain itu, kaum
tua tidak berhak untuk mengungkung pemikiran kaum muda. Tentunya, keadilan di
dalam kehidupan harus ditegakkan bagaimana pun adanya.

5.1.2. Latihan Soal 1

A. Tugas Terstruktur

1. Apakah yang dimaksud dengan cerpen ?
2. Sebutkan minimal lima ciri-ciri cerpen?
3. Apakah yang dimaksud unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra ?
4. Sebutkan macam-macam unsur intrinsik dalam karya sastra serta jelaskan !
5. Sebutkan macam-macam unsur ekstrinsik karya satra !

B. Tugas Mandiri Tidak Terstruktur

Carilah sebuah cerpen yang menarik menurut ananda serta analisislah cerpen tersebut berdasarkan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.

Kunci Jawaban Latihan Soal 1

1. Cerpen adalah cerita yang menurut wujud fisiknya pendek atau habis dibaca sekali duduk
atau cerita yang mengisahkan sepenggal kisah hidup manusia.
2. Ciri-ciri cerpen minimal lima
• pada umumnya cerita itu pendek;
• yang ditampilkan hal – hal yang penting benar dan berarti;
• isinya singkat lagi padat;
• alur lebih sederhana;
• tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang;

3. Unsur intrinsik karya satra adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra
tersebut sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya satra.

4. Macam-macam unsur intrinsik karya satra, antara lain :
• tema adalah ide sentral dalam suatu cerita
• tokoh adalah pemeran dalam cerita sedangkan perwatakan adalah karakter yang dimiliki atau ditampilkan tokoh cerita.
• alur adalah jalannya suatu cerita dari awal hingga akhir cerita
• latar adalah waktu,tempat, dan suasana dalam cerita
• sudut pandang (point of view ) adalah cara pengarang dalam bercerita
• amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang pada pembaca melalui karya
sastranya
• gaya bahasa ,ada dua persepsi. pertama gaya bahasa berhubungan dengan
penyampaian bahasa yang digunakan pengarang dalam cerita. Kedua berhubungan
dengan majas.

5. Macam macam unsur ekstrinsik karya sastra, antara lain :
• unsur moral
• unsur agama
• unsur pendidikan
• usur ekonomi dll.


Rangkuman :

1. Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama. Cerpen
dibangun dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.
2. Dalam cerpen terdapat hal-hal menarik yang dapat dianalisis dan diidentifikasi. Hal-hal
tersebut berkenaan dengan realita sosial yang ada di masyarakat. Ini membuktikan bahwa
cerpen merepresentasikan kehidupan masyarakat.

Tes Formatif 1
1. Unsur cerpen yang berupa rangkaian peristiwa yang membentuk cerita adalah…
A. latar
B. alur
C. tema
D. amanat
E. sudut pandang

2. (1) Cerita melukiskan seluruh kehidupan tokoh.
(2) Cerita langsung menuju ke titik permasalahan.
(3) Terjadi konflik tetapi tidak mengubah nasib manusia secara drastis.
(4) Lebih dari satu konflik.
(5) Perwatakan tokoh diceritakan secara singkat.
Pernyataan diatas yang merupakan ciri cerita pendek (cerpen) adalah nomor…
A. (1), (3), dan (5)
B. (2), (3), dan (4)
C. (1), (4), dan (5)
D. (2), (3), dan (5)
E. (3), (4), dan (5)

3. …
Indra menjadi duda bukan karena kematian istrinya. Melainkan karena perceraian yang didahului dengan pertengkaran seru. Begitu serunya sehingga keluarga Indra dan Nur ikut menengahi pertengkaran itu. Hasilnya berakhir dengan perceraian. Hesti tahu benar dalam perceraian itu Indra yang bersalah. Karena menghianati perkawinannya.
(Hesty, Y.S. Marjo)
Berdasarkan penggalan cerpen di atas, Indra adalah suami yang berwatak….
A. teguh pendirian
B. pemarah dan pembenci
C. pendiam tapi pendendam
D. egois dan tak penyayang
E. tidak jujur dan tidak terus terang

4. “Kau punya anak, punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, punya tujuan minimal. Tapi yan terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa saja yang kau maui. Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai lelaki, sebagai manusia juga, seperti yang kita omongkan dulu, kau dapat mencapai sesuatu yang kau inginkan. Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan. Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini.”
Dan tangan ini diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik gunung dari mana angin meniup. Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sebuah ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering kuucapkan. Untuk anak buahku di front Barat. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu sendiri telah kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika.

Gambaran watak tokoh dalam cerpen tersebut adalah….
A. seorang lelaki yang bijaksana
B. seorang ayah yang hanya pasrah pada nasib
C. kecenderungan seseorang akan pasrah apabila dilanda musibah
D. laki-laki tidak bertanggung jawab
E. tokoh yang tidak ingin peduli dengan keluarganya

5. Taksu tersenyum
“Kenapa tersenyum?”
“Maaf Pak, saya tidak mampu untuk mengatakan apa yang akan terjadi, karena hal itu belum terjadi, jadi hanya akan merupakan janji-janji, kalau tidak bisa saya tepati nanti saya salah,” Direktur tertawa.
“Setidak-tidaknya, sebagai gambaran, apakah Anda bersedia seandainya Dewan Komisaris menunjuk Anda sebagai wakil saya?” Taksu menunduk, “Saya sungguh tidak berani mengatakan apa-apa, sebelum terjadi.”

Watak tokoh Taksu dalam penggalan cerpen di atas adalah….
A. rendah hati
B. sombong
C. jujur
D. penurut
E. penakut


Umpan Balik dan Tindak Lanjut :
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di
Bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda dalam materi ini.

Rumus :
Tingkat Penguasaan = Jumlah jawaban yang benar x 100 %
5

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 % - 100 % = Baik Sekali
80 % - 89 % = Baik
70 % - 79 % = Sedang
- 69 % = Kurang
Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80 % ke atas, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar selanjutnya. Bagus ! Tetapi kalau nilai Anda di bawah 80 % , Anda harus mengulang Kegiatan Belajar 2 terutama yang belum Anda kuasai.


Kunci Jawaban Tes Formatif 1
1. B
2. D
3. D
4. C
5. A





------------/////----------










MENGUNGKAPKAN PIKIRAN DAN PERASAAN MELALUI
KEGIATAAN MENULIS PUISI



1. Pengantar
Puisi merupakan ungkapan jiwa penulisnya . Demikian sebagian besar orang
beranggapan sebab puisi yang ditulis oleh seorang penyair biasanya menggambarkan suasana
batin maupun pikiran penyair pada waktu karya tersebut dibuat. Dengan puisi orang dapat
mengkritik ketidakadilan, kesenjangan sosial, kemerosotan moral, memberi wawasan tentang
kehidupan, perjuangan, pengorbanan, kasih saying, pengabdian, nasihat-nasihat maupun
ajaran moral.

2. Standar Kompetensi
Menulis
Mengungkapkan pikiran, dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi.
3. Kompetensi Dasar
Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima.
4. Tujuan Pembelajaran
• Siswa dapat mengidentifikasi puisi baru berdasarkan bait, irama dan rima.
• Siswa dapat menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama dan rima.
• Siswa dapat menyunting puisi baru yang dibuat teman.
5. Kegiatan Belajar

5.1. Kegiatan Belajar !
Uraian dan Contoh

Secara umum, tidak ada paksaan bagi seseorang untuk menulis puisi. Setiap orang
dapat menulis puisi. Masalahnya, mau atau tidak mau orang tersebut tergerak untuk
menuliskan kata-kata yang mampu mewakili hatinya. Misalnya, jika Anda sedang sedih, jatuh
cinta, kecewa, rindu pada Tuhan atau orang terkasih, semuanya dapat diekspresikan dalam
bentuk puisi.
Selanjutnya, Anda harus sering berlatih untuk mengolah kata dan rasa. Hal ini secara
perlahan dapat dilakukan dengan memahami teknik-teknik menulis puisi. Dalam pelajaran
ini, Anda akan belajar memahami teknik-teknik tersebut dan mempraktikannya.

1. Mengenal Jenis-Jenis Puisi
Ditinjau dari bentuk dan isinya, puisi dapat dibedakan menjadi jenis berikut.
• Puisi epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epik dibedakan menjadi folk epic, yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan, dan literary epic, yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dibaca, dipahami, dan diresapi maknanya.
• Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, menjadi pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.Jenis puisi yang termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah balada yang dibedakan menjadi folk ballad dan literary ballad. Ini adalah ragam puisi yang berkisah tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan,kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale, yaitu puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
• Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia. Misalnya, dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
• Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan
perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga
mengandung suatu gambaran kisah tertentu. Dalam puisi dramatik dapat saja
penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog.
• Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya ditampilkan secara eksplisit.
• Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
• Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.
• Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih dan kedukaan seseorang.
• Ode, yakni puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun
sikap kepahlawanan.
• Hymne, yakni puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta
erhadap bangsa dan tanah air.

2. Bait dalam Puisi
Bait merupakan satuan yang lebih besar dari baris yang ada dalam puisi. Bait merujuk pada
kesatuan larik yang berada dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah
dari kelompok larik (bait) lainnya. Dalam puisi, keberadaan bait sebagai kumpulan larik
tidaklah mutlak. Perhatikanlah puisi "Isa" karya Chairil Anwar berikut.

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku sallah ?


Puisi Chairil Anwar tersebut terdiri atas enam bait, tiga di antaranya merupakan bait
yang hanya terdiri atas satu larik puisi tersebut. Salah satunya terdapat dalam penggalan
tersebut, yakni bait "mendampar tanya: aku salah?"
Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk suatu kesatuan makna dalam rangka
mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok
larik lainnya. Pada sisi lain, bait juga berperan menciptakan tipografi puisi. Selain itu, bait
juga berperanan dalam menekankan atau mementingkan suatu gagasan serta menunjukkan
adanya loncatan-loncata gagasan yang dituangkan penyairnya. Sekarang, dengan jelas
Anda dapat mengetahui bahwa bait-bait dalam puisi dapat diibaratkan sebaga suatu
paragraf karangan yang paragraf atau baitnya telah mengandung pokok-pokok pikiran
tertentu.

3. Unsur Rima dan Irama dalam Puisi
Bacalah puisi berikut ini dengan baik.

Ke manakah pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan
mencari lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah lari
mencari api
ketika bara hati
padam tak berarti
Ke manakah pergi
Ke manakah pergi
selain mencuci diri


Setelah membaca puisi berjudul "Salju" karya Wing Kardjo tersebut, apakah yang
pertama kali menarik perhatian Anda? Sejalan dengan telaah unsur bangun struktur, Anda
tentunya mencoba mengamati contoh konkret dari apa yang disebut bangun struktur puisi.
Dari sejumlah unsur struktur puisi yang telah diungkapkan, sekarang kita pusatkan
perhatian pada aspek bunyi terlebih dahulu.
Jika berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang
hal-hal berikut.
a) Rima, menyangkut pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik puisi
maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan.
b) Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan
tinggi- rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu
menumbuhkan kemerduan, kesan suasana, serta nuansa makna tertentu. Timbulnya
irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi
maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral.
c) Ragam bunyi meliputi euphony, cacophony, dan onomatope.
Rima adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada
akhir larik-larik puisi. Pada contoh puisi tersebut, misalnya, dapat dilihat adanya
pengulangan bunyi vocal (e) seperti tampak pada larik "ke manakah pergi". Perulangan
bunyi demikian disebut asonansi. Selain itu, juga dapat diamati adanya perulangan
bunyi konsonan (n) seperti nampak pada larik "pohon kehilangan daun". Perulangan
bunyi konsonan itu disebut aliterasi. Perulangan bunyi seperti contoh tersebut berlaku di
antara kata-kata dalam satu larik. Rima demikian itu disebut rima dalam. Lebih lanjut,
jika kita mengamati bait pertama puisi "Salju"
tersebut, tampak juga adanya paduan bunyi antara setiap akhir larik sehingga
menimbulkan pola persajakan vokal /i/ — vokal /i/ dengan konsonan /n/ — konsonan
/n/ seperti tampak pada bentuk . . . pergi/. . . matahari/. . . turun/. . . daun. Rima
demikian itu, yakni rima yang terdapat pada akhir larik puisi, disebut rima akhir. Pada
contoh puisi tersebut juga dapat kita jumpai adanya pengulangan kata "ketika" di antara
bait-bait. Ulangan kata demikian disebut rima identik. Contoh lain misalnya, dapat
diamati pada puisi berjudul "Sajak Samar" karya Abdul Hadi W.M. berikut.

Ada yang memisahkan kita, jam dinding ini
ada yang mengisahkan kita, bumi bisik-bisik ini
ada. Tapi tak ada kucium waangi kainmu sebelum
pergi tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri.

Pengulangan bunyi disebut rima sempurna jika meliputi baik pengulangan konsonan
maupunvokal, seperti tampak pada bentuk "pergi" dan "sendiri", larik 3 dan 4 puisi
tersebut. Adapun pengulangan bunyi disebut rima rupa jika pengulangan hanya tampak
pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya tidak sama. Misalnya, rima antara
bunyi vokal /u/ dalam bentuk "bulan’serta bunyi vokal /u/ dalam "belum", seperti
tampak pada salah satu puisi Abdul Hadi W.M. berjudul "Dan Bajumu" berikut.

Pasang bajumu. Dingin akan lalu melewat
menyusup dekat semak-semak pohon kayu
Tapi bulan belum kelihatan, puncak-puncak bukit
sudah berhenti membandingkan dukamu,
sehari keluh kesah

Anda tentunya telah mengenal istilah euphony sebagai salah satu ragam bunyi yang mampu
menuansakan suasana keriangan,vitalitas, maupun gerak. Bunyi euphony umumnya berupa
bunyi-bunyi vokal. Anda sendiri dapat mengetahui bahwa kata-kata yang mengandung sesuatu
yang menyenangkan umumnya mengandung bunyi vokal, seperti tampak pada kata "gembira",
"bernyanyi", "berlari", dan lain-lain. Pada puisi "Salju" tersebut, Anda dapat melihat adanya
kata "pergi/mencari/matahari". Berkebalikan dengan bunyi euphony, bunyi cacophony adalah
bunyi yang menuansakan suasana ketertekanan batin, kebekuan, kesepian ataupun kesedihan.
Jika bunyi euphony umumnya terdapat dalam bentuk vokal, bunyi cacophony umumnya
berupa bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Bunyi konsonan itu dapat berupa
bunyi bilabial, seperti nampak pada larik-larik ketika tubuh kuyup dan pintu tertutup. Peranan
bunyi dalam puisi meliputi hal-hal berikut:
o untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan;
o untuk menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya;
o untuk menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.

4. Majas dalam Puisi
Beberapa contoh majas yang ada dalam puisi adalah sebagai berikut.
• Metafora, yakni pengungkapan yang mengandung makna secara tersirat
untuk mengungkapkan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya, misalnya, "cemara
pun gugur daun" mengungkapkan makna “ketidakabadian kehidupan".
• Metonimia, yakni pengungkapan dengan menggunakan suat realitas tertentu, baik itu nama
orang, benda, atau sesuatu yang lain untuk menampilkan makna-makna tertentu. Misalnya,
"Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu". "Kuntum bunga" di situ mewakili makna
tentang remaja yang sedang tumbuh untuk mencapai cita-cita hidupnya.
• Anafora, yakni pengulangan kata atau frase pada awal dua larik puisi secara berurutan
untuk penekanan atau keefektifan bahasa. Misalnya, terdapat dalam salah satu puisi Sapardi
Djoko Damono berikut.

Kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai
terasa waktu masih mengalir
di luar diri kita. Awas men, jangan oleh,
tak ada yang memerlukan kita lagi
tak ada yang memanggil kembali.

• Oksimoron, yaitu majas yang menggunakan penggabungan kata yang sebenarnya acuan
maknanya bertentangan. Misalnya, pada salah satu puisi Sapardi Djoko Damono berikut.
Begini: kita mesti berpisah. Sebab
Sudah terlampau lama bercinta


Latihan Soal 1
A. Tugas Terstruktur
Bacalah puisi di bawah ini !


Menunggu Itu
(Taufiq Ismail)

Menunggu itu sepi
Menunggu itu puisi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu begini:
Sebuah setasiun kereta api
Di negeri sunyi
Malam yang berdiri di sini
Ada wajahmu dan wajahku
Benarkah jadi begini?
Rambutnya hitam sepi itu
Rambutnya putih sepi itu
Sunyi adalah sebuah bangku kamar tunggu
Dan jam tua, berdetik di atas itu
Sunyi itu tak pernah tidur
Sunyi itu tamu yang bisu
Menawarkan rokok padamu
Sunyi itu mengembara ke mana
Sunyi kota gemuruh
Sunyi padang penembakan
Sunyi tulang-belulang
Sebuah dunia yang ngeri
Menyuruh orang menanti
Ada karcis, ada kopor yang tua
Perjalanan seperti tak habisnya
Menunggu itu sepi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu teka-teki
Menunggu itu ini

1968
Sumber: Horison
Analisislah puisi tersebut berdasarkan :

1. Bangun struktur puisi yang menyangkut unsur pembentuk puisi yang dapat diamati visual. Unsur tersebut meliputi bunyi, kata, larik atau baris, bait, dan tipografi.
2. Lambang yang mengandung makna sesuai dengan kamus (makna leksikal).
3. Kata-kata yang mengandung makna apa yang sesuai dengan keberadaan dalam konteks
pemakaian?
4. Simbol, yakni kata-kata yang harus ditafsirkan (interpretatif).
5. Pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna abstrak menjadi konkret.
6 Pengiasan, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata kias sehingga menimbulkan
makna yang lebih konkret dan cermat.

B. Tugas Tidak terstruktur

1. Tulislah sebuah puisi dengan tema bebas yang sesuai dengan
suasana hati Anda sekarang.
2. Jika perlu, carilah suasana baru dalam menulis puisi, misalnya di
taman sekolah, taman kota, dan lain-lain.
3. Setelah selesai, kumpulkanlah puisi tersebut!



Rangkuman

1. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur
tersebut meliputi bunyi, kata, larik, atau baris, bait, dan tipografi.
2. Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata bentukan.
3. Istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi
konkret dan cermat. Selain pengimajian, terdapat istilah pengiasan, yakni pengimajian
dengan menggunakan kata-kata kias sehingga menimbulkan makna yang lebih kongkret dan
cermat.
4. Bait merupakan satuan yang lebih besar dari baris yang ada dalam puisi. Bait merujuk pada
kesatuan larik yang berada dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah
dari kelompok larik (bait) lainnya.
5. Jika berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang hal-
hal berikut.
a. Rima, menyangkut pengulangan bunyi yang berselang di larik puisi.
b. Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan
keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu
menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama
tersebut, selain akibat penataan rima,juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi
maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral.
c. Ragam bunyi meliputi euphony, cacophony, dan onomatope


Tes Formatif 2
Cermatilah bait puisi di bawah ini !

Kini tak seorang pun mengerti kegelisahanku.
Bahkan,berkali-kali aku membuka kamus cinta
tapi isinya hanya kata-kata yang nempel di gigi
Dan tak paham arti rindu .

“Ajari Aku Rindu” oleh Matdon

1. Tema puisi di atas adalah….
A. percintaan B. kerinduan E. penasaran
C. kemanusiaan D. kefanaan

2. Mengungkapkan kembali suatu puisi dengan kata-kata bebas yang menyerupai cerita
merupakan salah satu aktivitas…
B. interfrase B. parafrase E. frasa sambung
C. narasi D intermediasi

3. Saat membaca puisi, lagu kalimat yang digunakan untuk memberikan penekanan maksud di
sebut ….
A. diksi B. ritme E. jeda
C. lagu D. intonasi

4 . Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Chairil Anwar

Sikap rasa penulis puisi di atas pada seorang pengemis adalah….
A. kasih sayang B. dendam E. memarahi
C. kasihan D. simpati

5. ….
Kami sudah coba apa yang kami bisa.
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa.
Kami sudah beri kami punya jiwa.
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.
….
Isi penggalan puisi tersebut tentang….
A. kegagalan B. kejiwaan E. pekerjaan
C. perjuangan D. perhitungan


Umpan Balik dan Tindak Lanjut :
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di
Bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda dalam materi ini.

Rumus :
Tingkat Penguasaan = Jumlah jawaban yang benar x 100 %
5


Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 % - 100 % = Baik Sekali
80 % - 89 % = Baik
70 % - 79 % = Sedang
- 69 % = Kurang
Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80 % ke atas, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar selanjutnya. Bagus ! Tetapi kalau nilai Anda di bawah 80 % , Anda harus mengulang Kegiatan Belajar 2 terutama yang belum Anda kuasai.


Kunci Jawaban Tes Formatif 2
1. B
2. B
3. D
4. C
5. C

Rabu, 25 Februari 2009

Majas
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis [1].

Daftar isi [sembunyikan]
1 Majas perbandingan
2 Majas sindiran
3 Majas penegasan
4 Majas pertentangan
5 Rujukan
6 Catatan kaki



[sunting] Majas perbandingan
Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

[sunting] Majas sindiran
Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

[sunting] Majas penegasan
Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

[sunting] Majas pertentangan
Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.

Minggu, 22 Februari 2009

Majas..

Majas

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis [1].

Daftar isi


[sunting] Majas perbandingan

  1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
  2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
  3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
  4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
  5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
  6. Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
  7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
  8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
  9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
  10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
  11. Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
  12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
  13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
  14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
  15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
  16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
  17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
  18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
  19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
  20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
  21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
  22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
  23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

[sunting] Majas sindiran

  1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
  2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
  3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
  4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
  5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

[sunting] Majas penegasan

  1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
  2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
  3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
  4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
  5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
  6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
  7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
  8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
  9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
  10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
  11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
  12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
  13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
  14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
  15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
  16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
  17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
  18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
  19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
  20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
  21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
  22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
  23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
  24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
  25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

[sunting] Majas pertentangan

  1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
  2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
  3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
  4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
  5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.

[sunting]